Ibarat siang dan malam, hitam dan putih, malaikat dan setan, baik dan buruk, dinamika kehidupan selalu menampilkan dua bagian yang saling bertolak belakang. Selalu ada sisi gelap dalam setiap kehidupan. Seiring berjalannya waktu, pada gilirannya hitam putih kehidupan itu akan menjadi kenangan, yang sarat makna untuk dijadikan bahan evaluasi dan introspeksi diri.
Hal serupa juga terjadi pada kehidupan masyarakat Kota Banjar. Dulu (era 60-an sampai 80-an), kota dengan 4 wilayah kecamatan ini merupakan daerah transit yang sangat strategis. Karena Banjar merupakan titik keberangkatan dari berbagai moda transportasi massal, mulai dari bus sampai kereta api.
Warga Ciamis Selatan, Jawa Tengah dan sekitarnya yang hendak berangkat ke luar daerah, mau tak mau harus singgah dulu ke Banjar. Karena hanya di Banjar ada terminal yang menyediakan bus untuk bepergian keluar daerah. Hanya di Banjar pula ada stasiun KA yang menyediakan keberangkatan menuju ke kota-kota besar.
Tak heran jika saat itu, Banjar benar-benar hidup. Denyut perekonomian dan kehidupan sosial di kawasan Kota Banjar nyaris tak pernah mati. Banjar sebagai kota transit, perdagangan dan jasa benar-benar nyata dan bisa dirasakan oleh masyarakat. Ramainya terminal dan stasiun, sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat Banjar ketika itu.
Namun dibalik semua itu, Banjar tempo dulu juga ternyata menyimpan sebuah catatan hitam. Ya, bahkan sangat kelam. Betapa tidak, bisnis prostitusi begitu menjamur di kota ini. Saking ramainya bisnis esek-esek kala itu, sampai-sampai terbentuk dua titik lokalisasi pelacuran yang tumbuh subur.
Dua tempat lokalisasi tersebut adalah komplek lokalisasi Rancagaok dan Gang Buntu. Kedua lokalisasi itu berdiri dengan disokong oleh keberadaan rumah-rumah "bordir" yang tersebar di beberapa titik. Kala itu, dua tempat itu menjadi tempat favorit bagi para lelaki hidung belang.
Tempat Hiburan
Kehadiran para penjaja cinta satu malam itu secara tidak langsung didukung oleh kehadiran beberapa tempat hiburan. Jangan pernah berfikir tempat hiburan itu berupa diskotik, pub atau karaoke, seperti yang terjadi jaman sekarang.
Saat itu, tempat hiburan yang menjadi tempat favorit adalah gedung sandiwara, dua unit bioskop (Kenanga dan Saudara), pertunjukan wayang orang atau arena ketangkasan yang kental dengan nuansa perjudian.
Tempat-tempat hiburan itu tersebar di kawasan kota, yakni di Jalan Letjen Suwarto, Jalan R Hamara Effendi, Jalan Kantor Pos dan sekitarnya.
Selain di lokalisasi dan rumah bordir, di tempat-tempat hiburan itulah para PSK jaman dulu berseliweran mencari hidung belang. Dengan dandanan mencolok dan parfum yang semerbak, para PSK berusaha memikat lelaki yang haus hiburan dan kenikmatan.
Selain warga Banjar dan sekitarnya, kehidupan malam di Banjar saat itu juga diramaikan oleh para saudagar dari wilayah Ciamis Selatan, awak angkutan umum, termasuk para penumpang yang tengah menanti jadwal keberangkatan.
“Wah kehidupan malam Banjar tempo dulu mah mirip di Las Vegas. Mau apa saja ada, anu lacur wae aya, anu ngadu (berjudi) wae aya, pokoknya segala ada," kata pria 65 tahun berinisial EM, warga Kelurahan Hegarsari Kecamatan Pataruman, Kota Banjar.
0 komentar:
Posting Komentar