Pada jamannya lokalisasi Rancagaok di Kota Banjar sangat terkenal dan ramai. Seolah tak kenal waktu, selalu saja ada aktifitas bisnis esek-esek di kawasan itu. "Dulu kan belum terlalu banyak motor, jadi yang hilir mudik disini itu becak. Mau siang atau malam selalu banyak yang datang," kata Aan, Ketua RW 12 Kelurahan Mekarsari Kota Banjar.
Dia mengisahkan ketika itu warga sebetulnya kerap kali merasa gerah dengan aktifitas bisnis esek-esek tersebut. Namun karena ketika itu di wilayah tersebut jumlah warga belum terlalu banyak, sehingga daya tawar mereka untuk melakukan perlawanan sangat lemah. "Kawasan ini dulunya tidak seperti sekarang, rumah pun masih jarang-jarang. Makanya warga sini tak bisa berbuat banyak," kata Aan. Pada akhirnya warga lebih memilih bersikap apatis. "Akhirnya yang lacur ya lacur yang pengajian ya pengajian," kata Aan. Oman (67), warga Cikabuyutan Timur yang merupakan mantan tukang becak di stasiun KA Banjar, juga membenarkan bahwa pria hidung belang yang bertandang ke Rancagaok merupakan penumpang utama bagi tukang becak. "Pokoknya becak teh pabeulit we, trayeknya dari stasiun KA menuju ke Rancagaok," kata Oman.
Dia mengakui, agar bisa memungut tarif yang maksimal, para tukang becak biasanya mengelabui penumpang, terutama penumpang yang belum tahu Banjar. "Jadi ketika dari stasiun minta diantar ke Rancagaok, kita bawa dulu "kukurilingan". Sehingga dikiranya jauh, dan kita pun bisa meminta ongkos lebih besar," kata Oman sambil terkekeh.
Keramaian di Rancagaok ketika itu pun ternyata membawa efek domino bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Saat itu di sepanjang Jalan Tentara Pelajar banyak terdapat tukang makanan, bahkan lokasi yang kini jadi kantor Kelurahan Mekarsari dulunya dikenal dengan Pasar Ceplak atau beberapa orang ada yang menyebutnya Pasar Cau.
Di tempat itu terdapat aneka penjual makanan dan hasil bumi. Di tempat itu pula terdapat berbagai arena ketangkasan yang berbau perjudian, seperti alung gelang, unyeng, judi dadu dan sejenisnya.
Eman (65), warga Jalan Rumah Sakit mengatakan ketika Rancagaok masih menjadi komplek pelacuran, kawasan itu menjadi favorit para tukang kredit. Barang dagangannya beragam, mulai dari pakaian, kosmetik dan sebagainya. "Marema wae dagang kadinya mah, karena para PSK di tempat itu selalu konsumtif dan mudah mendapatkan uang. Pokona mah dagang naon wae, dibawa kadinya mah payu," ujar Eman.
Aktifitas bisnis esek-esek yang begitu ramai di Rancagaok, tentu saja terdeteksi oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis. Walaupun tidak melakukan upaya penutupan, namun pemerintah ketika itu sudah berupaya untuk memberikan pembinaan. Salah satunya adalah menugaskan tenaga medis untuk memberikan penyuluhan dan meminimalisasi penyebaran penyakit menular seksual. Eman yang ketika itu bekerja sebagai kernet ambulan di RSUD Banjar, mengatakan bahwa pemeriksaan kesehatan para PSK dilakukan setiap hari Jumat.
"Ada mantri suntik yang berkeliling di tempat-tempat lokalisasi. Nah saya sering diajak untuk bantu-bantu mengangkut barang bawaan mantri suntik. Lumayan suka diberi upah tambahan oleh pak mantri dan tentu saja saya jadi bisa cuci mata melihat PSK-PSK di sana," kata Eman diiringi tawa lepas. Ketika itu jika ada PSK yang diketahui terjangkit penyakit menular seksual semacam GO, siphilis dan sejenisnya, maka PSK tersebut akan dilarang untuk melayani tamu. Dengan bantuan germo, biasanya PSK itu akan diwajibkan menjalani pengobatan terlebih dahulu. Kala itu kampanye penggunaan kondom tidak segencar saat ini, makanya tak heran jika penyebaran penyakit menular seksual rentan terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar