Translate

30 Oktober 2012

Sejarah Tasikmalaya

Sebelum ibukota Kabupaten Sukapura berkedudukan di Tasikmalaya, kota ini merupakan sebuah afdeeling yang diperintah oleh seorang Patih Lurah (Zelfstandige Patih). Waktu itu namanya Tawang atau Galunggung. Sering juga penyebutannya disatukan menjadi Tawang-Galunggung. Tawang sama dengan "sawah" artinya tempat yang luas terbuka, dalam Bahasa Sunda berarti "palalangon".
Ada pendapat lain yang menerangkan arti Tasikmalaya, yaitu berasal darikata "tasik" dan "laya", artinya "keusik ngalayah", maksudnya banyak pasir di mana-mana, mengingatkan kejadian meletusnya Gunung Galunggung Oktober 1822, yang menyemburkan pasir panas ke arah Kota Tasikmalaya. Keterangan kedua menyebutkan bahwa Tasikmalaya berasal dari kata "Tasik" dan "Malaya". Tasik dalam bahasa Sunda berarti danau, laut dan Malaya artinya nama deretan pegunungan di Pantai Malabar India.
Menurut Buku Pangeling-ngeling 300 Tahun Ngadegna Kabupaten Sukapura dan keterangan R.Yudawikarta, bahwa Sareupeun Cibuniagung berputera Entol Wiraha yang menikah dengan Nyai Punyai Agung, seorang pewaris dari Negara Sukakerta, dan Entol Wiraha diangkat menjadi Umbul di Sukakerta. Waktu Wirawangsa, putra Entol Wiraha menjadi umbul Sukakerta, Bupati Wedana di Priangan dipegang oleh Dipati Ukur Wangsanata.
Pada tahun 1628/1629 Dipati Ukur mendapat perintah dari Sultan Agung untuk menyerang Batavia bersama-sama tentara Mataram dibawah pimpinan Tumenggung Bahurekso. Dipati Ukur membawa sembilan umbul (Pemimpin Daerah), diantaranya umbul dari Sukakerta, Wirawangsa. Penyerangan yang berakhir dengan kegagalan itu menyebabkan Dipati Ukur dikejar-kejar tentara Mataram. Menurut salah satu versi dari penangkapan Dipati Ukur, yaitu pendapat K.F. Holle; bahwa ada tiga umbul yang ikut dalam penangkapan, yaitu Umbul Sukakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala dan Umbul Sindangkasih Ki Somahita.
Atas jasa-jasanya, ketiganya diangkat menjadi mantri agung di tempatnya masing-masing. Ki Wirawangsa diangkat menjadi Mantri Agung Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha pada tahun 1674. R.Tg. Wiradadaha I yang berjasa dalam mendirikan Kabupaten Sukapura wafat dan dimakamkan di Pasir Baganjing. R.Tg. Wiradadaha I berputra 28 orang dan digantikan oleh putranya yang ketiga, R. Djajamanggala dengan gelar Tumenggung Wiradadaha II, serta dikenal pula sebagai Dalem Tambela yang meninggal pada tahun 1674. Sebagai penggantinya untuk menjadi bupati adalah adiknya, R. Anggadipa, putra keempat R.Tg. Wiradadaha I, karena putra Dalem Tambela yang berjumlah 8 orang belum cukup umur untuk menggantikannya.
Nama R. Anggadipa I setelah menjadi bupati diganti menjadi R.Tg. Wiradadaha III yang memerintah dari tahun 1674 hingga 1723. Pada masa itu kemajuan agama dipentingkan sekali, karena adanya anjuran dari Sjeh Abdul Muhyi di Pamijahan yang menjadi perintis Agama Islam di Kabupaten Sukapura. Dalam memegang pemerintahan, R.Tg. Wiradadaha III dibantu empat orang puteranya yang masing-masing mempunyai pembagian kerja. Adanya pembagian kerja ini membuat R.Tg. Wiradadaha III terkenal sebagai Bupati Sukapura terkaya. Selain itu memiliki putra terbanyak 62 orang, sehingga lebih dikenal dengan nama Dalem Sawidak.
Pada tahun 1900 Bupati Sukapura XII, R.T. Wirahadiningrat yang memerintah dari tahun 1875 hingga 1901 mendapat Bintang Oranye Nasau, dari pemerintah Hindia Belanda yang menjadikan namanya dikenal sebagai Dalem Bintang. Pada tahun itu pula ibukota Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya. Adapun yang melaksanakan perpindahan ibukota adalah penggantinya, yaitu R.Tg. Wiriaadiningrat, Bupati Sukapura XIII. Ada beberapa alasan dipindahkannya ibukota Kabupaten Sukapura ke Tasikmalaya, di antaranya karena daerah Tasikmalaya yang lebih dekat ke Galunggung termasuk daerah yang subur sehingga baik untuk penanaman nila, disamping itu daerah kota Tasikmalaya lebih luas, datar dan indah dibandingkan Manonjaya.
Pada tahun 1942, penjajahan Belanda berakhir diganti dengan pemerintahan militer Jepang. Karena adanya peraturan pengumpulan beras dari pemerintahan Jepang, pernah muncul pemberontakan para santri di pasantren Sukamanah yang dipimpin seorang ulama besar, K.H.Z. Mustofa yang dibela Bupati R.T. Wiradiputra.

0 komentar:

Posting Komentar

ANTARA News