Translate

20 November 2012

Menyusuri Komunitas Lesbi di Kota Santri (Bagian 1)


Perilaku hubungan sejenis bukan hal yang baru. Penyimpangan ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Sejarah mencatat, perilaku penyimpangan itu sudah ada sejak jaman Nabi Luth. Pada jamannya, hubungan sejenis hanya sebatas sesama lelaki (gay). Namun, semakin lama kita tahu bahwa perilaku menyimpang ini juga ditemui pada kaum perempuan (lesbian).
Seiring berjalannya waktu, perilaku penyimpangan seksual seseorang yang menyukai sejenisnya ini terus bermunculan. Bahkan, memunculkan komunitas-komunitas di kota-kota besar di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia.
Seperti halnya di Kota Tasikmalaya, kehidupan kelompok lesbian di Kota Tasikmalaya ternyata tidak kalah dengan di Kota-Kota besar. Komunitas lesbi di Kota Santri ini jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya.
Meski tidak terorganisir, namun anggota kelompok-kelompok seksual minoritas ini tumbuh menjamur di Kota yang berjuluk Kota Santri ini. Berdasarkan pengakuan salah seorang wanita yang tergabung dalam komunitas lesbi, saat ini anggota lesbi di Kota Tasikmalaya mencapai sekitar 150 orang.
Dari jumlah tersebut, kelompok lesbi ini sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke bawah dengan usia belasan tahun. Namun tidak sedikit juga yang berasal dari kalangan berada. Bahkan sebagian besar mereka masih berstatus pelajar dan mahasiswa, selebihnya sudah tidak sekolah. Menariknya lagi, ternyata ada juga yang berstatus PNS dan karyawan BUMN.
Dilansir Kabar Priangan (19/11/2012), terjadinya kelompok penganut cinta sejenis ini berlatar belakang dari banyak hal, seperti sakit hati akibat penghianatan, putus cinta dan kekerasan seksual. Namun, ada juga dari mereka yang terbentuk karena tekanan orang tua dan pengaruh lingkungan serta karateristik yang memaksa mereka berorientasi seksual menyimpang.Bisa ditebak, kemana arahnya.
Banyak istilah-istilah yang digunakan di dunia lesbian, seperti dengan sebutan Butchy. Istilah ini diperuntukan bagi mereka perempuan yang bersikap kelelaki-lakian. Layaknya seorang pria, dia bertugas untuk melindungi dan mengayomi perempuan, dan bisa ditebak arahnya kemana.
Lain halnya dengan istilah Femme, lesbian ini terlihat lebih feminim dan suka bermake up, memiliki sifat keperempuanan layaknya kaum perempuan kebanyakan.
Tidak seperti komunitas lainnya, mereka lebih memilih sembunyi-sembunyi menjadi kaum lesbi, mengingat saat ini masyarakat masih banyak yang belum menerima keberadaan kaum lesbi. Masyarakat masih menganggap lesbi sebagai penyakit yang harus disembuhkan. Akibatnya, banyak dari mereka yang memilih untuk menutup diri di tengah masyarakat, takut dikucilkan dari pergaulan.
Sekali lagi, memang tidak mudah menelusuri dunia kaum lesbi di Kota Tasikmalaya. Begitu susah memang mendeteksinya, karena komunitas ini tersimpan sangat rapih dan sangat sulit ditembus.
Meski harus berjuang dengan keras, namun "KP" berhasil menjumpai salah satu kaum lesbi di Kota Tasikmalaya. Wanita ini, sebut saja Kiran (nama samaran), warga Cipedes Kota Tasikmalaya. Dia masih berusia belasan tahun dengan status masih sebagai pelajar.
Menurut penganut cinta sejenis ini, kaum lesbi di Kota Tasikmalaya sesungguhnya sudah ada sejak lama, dan jumlahnya cukup banyak. Namun mereka cenderung menutup diri.
Semakin hari, komunitas ini makin tumbuh dan berkembang. Hal ini seiring dengan dinamika kehadiran pendatang dari luar daerah. Sarana hiburan yang mulai bermunculan dan semakin berkembang menjadi gaya hidup sendiri, komunitas ini pun semakin bertambah.
Mereka cenderung masih sangat tertutup, sekalipun telah mulai terbentuk komunitas-komunitas kecil. "Mereka tidak hanya warga Kota Tasikmalaya saja, banyak juga pendatang yang bekerja atau sekolah di Kota Tasikmalaya," ujarnya.
Menurutnya, jumlah komunitas ini tidak bisa dipastikan banyaknya. Tapi untuk memastikan adanya komunitas-komunitas lesbi ini tidak sulit. Mereka bisa ditemukan di tempat hiburan atau tempat-tempat makan di super market di Kota Tasikmalaya pada hari-hari tertentu. Mereka biasanya berkelompok dengan penampilan yang berbeda.
"Kami sangat tertutup karena masyarakat menganggap kami sebagai sampah atau penyakit yang berperilaku menyimpang," ucapnya. (bersambung)***

0 komentar:

Posting Komentar

ANTARA News