Translate

14 Desember 2012

Jejak Prostitusi Banjar Patroman Tempo Dulu (4)


Seperti multiplier effect kawasan lokalisasi pada umumnya, tatanan kehidupan sosial masyarakat di sekitar pun menjadi kurang nyaman. Selain aktifitas esek-esek yang tak kenal waktu, keberadaan stamplat alias terminal bus di tempat itu juga menambahkan kesan "angker". Betapa tidak, mulai dari calo, copet, bromocorah, dan preman "ulubiung" di kawasan tersebut.
Prayogi (35), warga Tanjungsukur Kecamatan Pataruman mengatakan, ketika Rancagaok masih ramai, dia masih duduk di bangku SMP. "Melihat orang berkelahi, berjudi dan memalak adalah hal yang lumrah. Bahkan saya pun pernah hendak dipukuli oleh preman disitu tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena dia mabuk, beruntung ketika itu saya ada yang menolong," kata Prayogi.
Dia juga mengatakan, jika siang hari, para PSK di Rancagaok sering nongkrong di depan rumah-rumah "bordil" yang berderet di kawasan tersebut. "Makanya dulu orangtua saya sangat melarang keras jika saya bermain-main ke daerah itu," katanya. Dia menambahkan, pada saat itu pun di Kota Banjar beberapa kali terjadi kasus pembunuhan. "Pokokna mah ngeri we, Banjar baheula mah," cetusnya.
Salah seorang dokter senior di RSUD Banjar, juga punya cerita soal lokalisasi Rancagaok. "Dulu saya praktek tak jauh dari tempat itu, jadi tahu kalau di belakang terminal itu memang komplek pelacuran," kata sang dokter.
Selain sering menangani pasien yang terjangkit Penyakit Menular Seks (PMS), dia juga sering menerima pasien pria yang mengalami infeksi di kemaluannya. Infeksi itu mayoritas dipicu oleh tren pemasangan biji tasbe di kalangan pria dewasa.
Biji tasbih itu dimasukkan ke dalam kemaluan pria. Tujuannya adalah untuk memberikan sensasi ekstra kepada pasangannya saat berhubungan intim. "Karena dilakukan secara serampangan, banyak dari mereka yang kemudian mengalami infeksi. Sehingga dokter harus memberikan pengobatan dan mengeluarkan biji tasbe tersebut," kata sang dokter.
Walaupun beresiko, pemasangan "aksesoris" itu sempat merebak di kalangan pria di Kota Banjar. Kendati pada akhirnya banyak dari mereka yang menyesalinya.
Abdul Hakim (55), pedagang gorengan di kawasan alun-alun Kota Banjar, juga punya cerita soal Rancagaok. "Jaman harita mah, saya masih berjualan lontong sayur atau lengko," kata Abdul.
Menurut dia, PSK di Rancagaok tidak sebatas penghuni rumah bordir saja, melainkan di sepanjang rel mati (sekitar Jalan Baru) pun banyak PSK yang mangkal. Boleh jadi, PSK yang berjejer di kawasan rel mati tersebut memiliki tarif yang lebih murah.
Dia berkisah, suatu waktu sambil "nanggung" dagangannya, dia melewati jalan rel mati tersebut. "Tiba-tiba ada pria yang jajan, ah biasa we diladangan," kata Abdul. Setelah melahap lontong sayur, pria itu lantas meminta izin untuk meminjam lampu teplok yang dibawa Abdul. "Kemudian dia menggulungkan celananya, ternyata lampu templok itu digunakan untuk melihat kondisi lututnya yang luka-luka," katanya.
Selidik punya selidik, rupanya pria itu baru saja berkencan dengan PSK di gerbong kereta yang dipakai untuk mengangkut pasir. "Sigana bakat ku sumanget, gerbong ngeres ku keusik ge teu dirasa. Nyaho-nyaho tu'ur na geus babak belur," kata Abdul berderai tawa lepas.

0 komentar:

Posting Komentar

ANTARA News